Thudong dan Safar: Perjalanan Mencari Pencerahan
Minggu, 11 Mei 2025 06:31 WIB
Para ulama dan sufi selain melakukan safar fisik, juga melakukan safar ruhani, berupa perjalanan hati dari alam rendah menuju tingkatan malakut
***
Perjalanan panjang 32 biksu (bhante) dari Thailand menuju Candi Borobudur dengan berjalan kaki yang dimulai 23 Maret 2025 lalu, hari Jumát, 9 Mei 2025 telah sampai di Temanggung, Jawa Tengah. Mereka berangkat dari Nakhon Si Tammarat dan telah melewati empat negara, yaitu Thailand , Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Perjalanan yang disebut thudong ini bertujuan untuk mengikuti puncak peringatan Waisak yang berpusat di Candi Borobudur.
Thudong berasal dari bahasa Pali yaitu dhutanga, yang artinya latihan keras. Atau dalam bahasa Thailand diartikan sebagai sarana untuk melepaskan diri. Thudong merupakan ritual perjalanan yang dilakukan para biksu dengan cara berjalan kaki. Ritual thudong biasanya dilakukan menjelang hari-hari keagamaan tertentu, salah satunya Waisak.
Safar, Thudong Versi Islam
Safar adalah melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain dengan tujuan tertentu. Secara terminologi, safar berarti “tersingkapnya tabir”. Dengan safar, seseorang bisa menyingkap ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan Allah, menyingkap tabir hatinya, atau menyingkap perangai buruknya.
Pada zaman dulu, safar merupakan salah satu tradisi kaum ulama dan sufi. Mereka juga menempuh perjalanan ribuan kilometer dengan berjalan kaki. Adapun tujuan safar di antaranya adalah mencari ilmu, menemui seorang guru (ulama), beribadah ke tanah suci, jihad fi sabilillah, lari dari bahaya, melepaskan diri dari penguasa zalim, dan sebagainya.
Berikut beberapa contoh ulama yang melakukan safar dengan berjalan kaki hingga ribuan kilometer:
- Abdullah bin Mubarak (w. 797 M)
Ia lahir di kota Merv pada tahun 118 H pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik (Bani Umayyah). Ia pernah pergi bolak-balik dari Merv (sekarang Turkmenistan) menuju ke Damaskus hanya sekedar untuk mengembalikan pena yang dipinjamnya. Jarak yang ia tempuh adalah sejauh 2.922 kilometer.
Dari Ahmad bin Fadhalah, saya mendengar Al Hasan bin Árafah berkata, Ïbnu Mubarak bercerita kepadaku, ‘Aku meminjam pena kepada seseorang di negeri Syam (Damaskus), kemudian aku pergi ke sana untuk mengembalikan pena itu kepada pemiliknya”.
- Ibnu Arabi
Ia lahir di Murcia, Andalusia (Spanyol) pada 1165 M. Lalu pada 1200 M, ia meninggalkan Andalusia untuk selamanya dan berjalan kaki menuju ke timur. Ia melewati Maghribi (Maroko), Mesir, Yerusalem, hingga akhirnya menetap secara permanen di Damaskus pada 1224 M. kitab karya Ibnu Arabi menginformasikan tempat-tempat yang pernah dikunjunginya dan mendokumentasikan nama-nama tokoh yang pernah ditemuinya.
- Al Ghazali
Ia memulai petulangan spiritualnya pada tahun 488 H. Ia berangkat dari Baghdad menuju negeri Syam, menunaikan ibadah haji di Mekah, dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Baitul Maqdis di Yerusalem. Ia meninggalkan semua nama besar dan ketenarannya sebagai guru madrasah Nizamiyah demi menempuh jalan kesufian dalam rangka penyucian jiwa (tazkiyyatun-nafs).
- Para muhadditsin (ahli hadits)
Mereka juga memiliki tradisi yang mengakar dalam hal safar. Said bin al-Musayyib, seorang ulama dari kalangan tabiín terkadang harus menempuh perjalanan selama berhari-hari untuk menemui para sahabat dan mendokumentasikan satu atau beberapa hadits.
Imam Syafii menempuh perjalanan dari Gaza di tanah kelahirannya menempuh perjalanan panjang menuju Mekah, lalu ke Madinah untuk menemui gurunya Imam Malik. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Yaman, dilanjutkan ke Baghdad, hingga akhirnya menetap di Mesir dan menyebarkan mazhab jadid di sana.
Jabir bin Abdillah bersama 10 orang sahabat lainnya pernah menempuh perjalanan dari Madinah menuju Mesir sejauh 1.470 kilometer dalam waktu sebulan lamanya, hanya demi mendengarkan satu buah hadits riwayat Abdullah bin Unais al-Anshari.
Demikian halnya dengan Imam Bukhari, Muslim, dan para penulis kitab Sunan, mereka menghabiskan ribuan kilometer untuk belajar dan mendokumentasikan hadits-hadits.
- Para Wali Nusantara
Para Walisanga juga melakukan perjalanan berkeliling Pulau Jawa, terutama ke daerah-daerah pedalaman untuk mendakwahkan Islam. Mereka menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, dan menembus hutan belantara demi sebuah misi religi. Para wali lainnya di tanah Jawa maupun di luar Jawa juga melakukan hal yang sama.
*****
Nabi Muhammad SAW juga pernah melakukan safar, yaitu Isra’ dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsha di Yerusalem. Lalu, dilanjutkan dengan Mi’raj, yaitu naiknya nabi ke langit ketujuh (Sidratul Muntaha) untuk menghadap kepada Allah SWT. Isra’ adalah perjalanan fisik (jasmani), sedangkan Mi’raj adalah perjalan metafisik (ruhani).
Para ulama dan sufi selain melakukan safar fisik, juga melakukan safar ruhani, berupa perjalanan hati dari tingkatan alam rendah menuju tingkatan alam malakut. Adanya konsep maqamat dan ahwal dalam tasawuf sejatinya adalah perjalanan spiritual yang harus dilalui oleh seorang sufi dalam meniti suluknya.
Safar di Era Modern
Apakah masih ada ulama atau kaum sufi yang melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki? Barangkali saja masih ada, namun kemungkinannya sangat kecil. Era modern ditandai dengan adanya kendaraan menggunakan mesin, sehingga orang dengan mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan dari satu negara ke negara lainnya dalam hitungan hari itu juga.
Jangankan untuk berjalan kaki berbulan-bulan lamanya, berjalan kaki beberapa jam saja mungkin kita sudah banyak mengeluh, atau malah tidak sanggup melakukannya. Untuk pergi ke masjid yang jaraknya hanya sekitar 100 meter saja kita menggunakan sepeda motor. Apalagi kita diminta untuk berjalan kaki hingga 1.000 meter atau lebih.
Sejak kecil kita sudah terbiasa pergi ke mana pun dengan menggunakan kendaraan bermotor. Hal ini membuat kaki kita tidak terlatih untuk berjalan kaki, sehingga kaki kita menjadi lemah dan ringkih. Napas kita akan ngos-ngosan atau kaki menjadi sakit dan pegal-pegal setelah dipakai untuk berjalan kaki, sekalipun itu dalam jarak yang tidak terlalu jauh.
Beberapa keluhan ringan seperti kaki kram, nyeri sendi, bengkak, keseleo, kesemutan, dan sebagainya adalah akibat dari kurang terlatihnya kaki untuk berjalan. Termasuk kondisi obesitas, serangan jantung, stroke, maupun gangguan syaraf juga akibat dari kurangnya gerak atau aktivitas fisik.
Padahal, apabila kita mau meluangkan waktu 10-15 menit dalam sehari – atau lebih lama tentu lebih baik – untuk berjalan kaki terutama di pagi hari, akan memberikan manfaat yang sangat baik bagi kesehatan. Tubuh akan lebih sehat, segar, dan rileks. Termasuk dapat mengurangi tingkat stres, mestabilkan emosi, serta memberikan ketenangan.
Dalam Islam, melakukan safar dapat menjadi sarana untuk melakukan tafakkur dan tadabbur alam semesta. Dapat membuka pikiran dan mata hati akan kebesaran dan keagungan ciptaan Tuhan. Kita dapat membaca ayat-ayat kauniyah untuk kemudian merenungkannya. Hamparan alam semesta beserta isinya adalah Al-Qur’án yang tidak tertulis.
Demikian halnya dengan thudong yang dilakukan oleh para Bhikkhu Duthanga (bhikkhu hutan), yang telah dipraktikkan sejak zaman Sang Buddha, dimulai sekitar 2500 tahun yang lalu. Perjalanan spiritual ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya melatih diri untuk mengurangi lobha (keserakahan), dosa (kebencian), serta moha (kebodohan batin). Praktik thudong memiliki akar historis yang kuat dalam tradisi Buddhis yang dilakukan penuh perenungan agar mengurangi kemelekatan dan menjalani hidup pertapaan.
Akhir kata, semoga perayaan Tri Suci Waisak dan tradisi thudong yang menyertainya dapat menginspirasi kita semua agar tetap mau melakukan perjalanan (safar) dengan berjalan kaki demi tercapainya kesehatan lahir maupun batin, serta menambah kedekatan dengan Sang Pencipta alam semesta.
Referensi:
Idries Shah, Kisah Bijak Para Sufi, Pustaka Firdaus, 1984.
M.B. Rahimsyah, A.R. Kisah Nyata & Ajaran Para Sufi (Wali), Indah Surabaya, Surabaya, 2012.
Wawan Susetya, Kisah-Kisah Para Sufi Legendaris Sepanjang Masa, Bukukita, Desember 2012.
https://daaitv.co.id/
https://pannasikkha.com/tentangthudong2024/

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Persamaan antara Pangeran Siddhartha dengan Pangeran Diponegoro
Sabtu, 17 Mei 2025 20:14 WIB
Thudong dan Safar: Perjalanan Mencari Pencerahan
Minggu, 11 Mei 2025 06:31 WIBArtikel Terpopuler